KASUS-KASUS PADA PESEDTRIAN DI INDONESIA DAN KAITANNYA DENGAN UUD 1945
Istilah
pedestrian atau pejalan kaki berasal dari bahasa Yunani pedester/ pedestris yaitu
orang yang berjalan kaki atau pejalan kaki. Pedestrian juga berasal dari kata pedos
bahasa Yunani yang berarti kaki sehingga pedestrian dapat diartikan sebagai pejalan
kaki atau orang yang berjalan kaki. Pedestrian juga diartikan sebagai
pergerakan atau sirkulasi atau perpindahan orang atau manusia dari satu tempat
ke titik asal (origin) ke tempat lain sebagai tujuan (destination) dengan
berjalan kaki (Rubenstein, 1992).
Koalisi
Pejalan Kaki Jakarta menyatakan dari seluruh pedestrian yang ada di Kota
Jakarta, hanya 20 persen yang dalam kondisi layak digunakan pejalan kaki.
Sisanya, 80 persen pedestrian dinilai cukup membahayakan keselamatan pejalan
kaki. Karena ruang pejalan kaki di pedestrian sudah diokupasi parkir liar,
pedagang kaki lima (PKL) dan kebutuhan lainnya.
Dengan
berlakunya UU No:22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ),
setiap Penyelenggara jalan Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota WAJIB
melaksanakan amanah menyediakan fasilitas untuk Pejalan kaki yang sesuai dengan
Norma,Standar,Pedoman, Kriteria ( NSPK) yang berlaku.
Sesuai
Undang-Undang No: 38 Tahun 2004 tentang Jalan tidak diatur secara jelas perihal
fasilitas untuk pejalan kaki. Dalam Peraturan Pemerintah No:34 Tahun 2006
tentang Jalan Pasal 22, diuraikan secara umum tentang perlunya jalan dilengkapi
dengan perlengkapan jalan dan pada Paragraf 1 tentang Ruang Manfaat Jalan (
Rumaja) pasal 34 butir 3(tiga) dan 4 (empat) disinggung tentang trotoar.
Dalam
Undang-Undang No:22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ)
dinyatakan dengan tegas pada paragrap 2 (dua) tentang Penggunaan dan
Perlengkapan Jalan pada pasal 25 dan 26 yang tertulis sebagai berikut:
Pasal 25,:
Setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum WAJIB dilengkapi dengan
perlengkapan jalan berupa:
Rambu
lalu lintas;
Marka
jalan;
Alat pemberi
isyarat lalu lintas;
Alat
penerangan jalan;
Alat
pengendali dan pengaman pengguna jalan;
Alat
pengawasan dan pengamanan jalan;
Fasilitas
untuk sepeda, PEJALAN KAKI, dan PENYANDANG CACAT;
dan Fasilitas
pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang berada di jalan dan
diluar badan jalan. Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”).
Penyediaan
fasilitas-fasilitas pendukung (termasuk trotoar) di atas diselenggarakan oleh
pihak pemerintah bergantung pada jenis jalan tempat trotoar itu dibangun [Pasal
45 ayat (2) UU LLAJ]:
a.
Untuk jalan nasional, diselenggarakan oleh pemerintah pusat;
b.
Untuk jalan provinsi, diselenggarakan oleh pemerintah provinsi;
c.
Untuk jalan kabupaten dan jalan desa, diselenggarakan oleh pemerintah
kabupaten;
d.
Untuk jalan kota, diselenggarakan oleh pemerintah kota;
e.
Untuk jalan tol, diselenggarakan oleh badan usaha jalan tol.
Berikut beberapa
kasus yang berkaitan dengan pedestrian:
1. Pedagang yang menggunakan trotoar
untuk berjualan
Penting
diketahui, ketersediaan fasilitas trotoar merupakan hak pejalan kaki yang telah
disebut dalam Pasal 131 ayat (1) UU LLAJ. Ini artinya, trotoar diperuntukkan
untuk pejalan kaki, bukan untuk orang pribadi.
Ada 2 (dua)
macam sanksi yang dapat dikenakan pada orang yang menggunakan trotoar sebagai
milik pribadi dan mengganggu pejalan kaki:
1.
Ancaman pidana bagi setiap orang yang mengakibatkan gangguan pada fungsi
perlengkapan jalan adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) (Pasal
274 ayat (2) UU LLAJ); atau
2.
Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi
Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, fasilitas
Pejalan Kaki, dan alat pengaman Pengguna Jalan, dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus
lima puluh ribu rupiah) (Pasal 275 ayat (1) UU LLAJ).
Fungsi
trotoar pun ditegaskan kembali dalam Pasal 34 ayat (4) PP Jalan yang berbunyi:
“Trotoar
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diperuntukkan bagi lalu lintas pejalan
kaki.”
Hal
ini berarti, fungsi trotoar tidak boleh diselewengkan dengan cara apapun,
termasuk dimiliki secara pribadi dengan alasan trotoar hanya diperuntukkan bagi
lalu lintas pejalan kaki.
Permasalahan
lainnya, banyak pedagang kaki lima yang mangkal tepat di trotoar jalan.
Sehingga, trotoar pun beralih fungsi menjadi pasar kaki lima. Salah satu
pedagang kembang di jalan Kebon Jeruk Raya, Maemunah (48) mengaku berjualan di
trotoar karena tidak mampu menyewa toko. Ia mengaku hanya membayar uang
kebersihan kepada petugas kebersihan.
2. Trotoar digunakan sebagai Parkiran
Penting
diketahui, ketersediaan fasilitas trotoar merupakan hak pejalan kaki yang telah
disebut dalam Pasal 131 ayat (1) UU LLAJ. Ini artinya, trotoar diperuntukkan
untuk pejalan kaki, bukan untuk orang pribadi.
Ada 2 (dua)
macam sanksi yang dapat dikenakan pada orang yang menggunakan trotoar sebagai
milik pribadi dan mengganggu pejalan kaki:
1.
Ancaman pidana bagi setiap orang yang mengakibatkan gangguan pada fungsi
perlengkapan jalan adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) (Pasal
274 ayat (2) UU LLAJ); atau
2.
Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi
Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, fasilitas
Pejalan Kaki, dan alat pengaman Pengguna Jalan, dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus
lima puluh ribu rupiah) (Pasal 275 ayat (1) UU LLAJ).
Fungsi
trotoar pun ditegaskan kembali dalam Pasal 34 ayat (4) PP Jalan yang berbunyi:
“Trotoar
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diperuntukkan bagi lalu lintas pejalan
kaki.”
Hal ini
berarti, fungsi trotoar tidak boleh diselewengkan dengan cara apapun, termasuk
dimiliki secara pribadi dengan alasan trotoar hanya diperuntukkan bagi lalu
lintas pejalan kaki.
Sementara,
di Jalan Raya Panjang, terdapat area trotoar yang digunakan sebagai parkir SMU
65. Motor-motor memadati trotoar di depan SMU tersebut. Hingga menyulitkan para
pejalan kaki untuk berjalan. Menurut Humas SMU 65, Sukamsih, kecilnya lahan di
SMU 65 membuatnya terpaksa membuat lahan parkir baru di trotoar jalan. Ia pun
mengaku sudah mendapat izin dari Suku Dinas Ketentraman dan Ketertiban setempat
perihal penggunaan trotoar sebagai lahan parkir tersebut.
Seperti
pedestrian di Jl. Raya Condet, Jl. Dewi Sartika dan Jl. Kalibata, selain
banyaknya trotoar yang berlubang, trotar itu seringkali diserobot oleh para
pengguna kendaraan bermotor, khususnya sepeda motor.
Di pertigaan
Jl. Kalibata – Pasar Minggu, aksi penyerobotan dari pedestrian yang sebenarnya
lumayan luas itu dilakukan secara bergerombol untuk berlomba mendekati lampu
merah.
1. Pohon yang berada ditengah-tengan
trotoar sehingga mengurangi luas trotoar yang dan menghalangi pejalan kaki
2. Pedestrian rusak
Dengan
'perusakan' trotoar oleh kegiatan tertentu seperti pemasangan jaringan telepon,
galian kabel listik maupun PDAM. Kegiatan 'gali lobang tutup lobang' ini seolah
tiada henti. Setelah proses penggalian usai, tak jarang, para pelakunya tak
mengembalikan kondisi trotoar seperti semula.
Berbeda
dengan apa yang terjadi di Jl. Pal Merah, Jl. Kemandoran dan Jl. Kebon Jeruk
Raya. Pedestrian jalan-jalan ini sudah tampak rusak. Banyak trotoar yang
berlubang sehingga menyulitkan orang untuk berjalan. Salah satu pejalan kaki di
trotoar Jl. Kemandoran, Deden (30), mengaku terpaksa berjalan di luar
pedestrian karena trotoar yang sudah rusak.
3. Kurangnya pedestrian disabilitas
Pada Pasal
25 UU Nomor 22 Tahun 2009 disebutkan bahwa Setiap jalan yang digunakan untuk
lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan jalan berupa
fasilitas untuk pejalan kaki dan penyandang cacat.
Bagi pejalan kaki yang berkebutuhan khusus (tuna netra dan yang terganggu penglihatan), membutuhkan informasi khusus pada permukaan lajur pejalan kaki. Informasi tersebut disebut lajur pemandu.
Persyaratan
untuk rambu dan marka bagi pejalan kaki berkebutuhan khusus agar memperhatikan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis
Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.
4. Tiang listrik yang berada ditengah
jalan trotoar sehingga mengurangi luas trotoar yang dan menghalangi pejalan kaki
5. Kendaraan bermotor yang suka melewati
trotoar
Selain
diatur dalam UU LLAJ, mengenai larangan kendaraan bermotor melintasi trotoar
juga dapat dilihat pada peraturan masing-masing daerah. Contohnya di Jakarta
ketentuan serupa dapat kita temukan dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi (“Perda DKI Jakarta 5/2014”). Perda DKI
Jakarta 5/2014 melarang kendaraan bermotor melintasi jalur trotoar serta
mewajibkan pengemudi kendaraan bermotor untuk mengutamakan keselamatan pejalan
kaki. Perda ini juga
mengatur bahwa setiap pengemudi Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mentaati tata
tertib berlalu Lintas Jalan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (termasuk Perda ini).
DAFTAR PUSTAKA